Melalui Lingkup dan Batasan, Kita Dapat Memahami Lebih Baik

Rayan Suryadikara
4 min readJan 27, 2021

--

Dibuat di Imgflip

Baca dalam bahasa Inggris

Jika kamu pernah menulis artikel ilmiah, entah itu makalah atau skripsi, kamu pasti pernah menjumpai ruang lingkup dan batasan penelitian. Mengenai ini, saya mungkin termasuk yang agak telat untuk menyadari pengaruh mereka dalam memberi perbedaan antara bagaimana ilmuwan dan orang awam memandang pengetahuan dan dunia seisinya.

Jadi, sebenarnya apa yang dimaksud dengan ruang lingkup dan batasan dalam penelitian? Terang sesuai namanya, keduanya berfungsi sebagai sempadan namun memiliki arah yang berlainan. Ruang lingkup adalah “ruang” yang ditetapkan ilmuwan untuk mengarahkan penelitian mereka dengan jelas, sementara batasan adalah faktor-faktor eksternal yang mengekang penelitian di luar kendali si ilmuwan.

Misalnya, kamu mungkin penasaran tentang: “Media sosial manakah yang paling sering digunakan orang untuk saling berkomunikasi?” Meskipun ini adalah pertanyaan yang sangat memikat, dalam praktiknya itu terlalu rumit dan ambisius untuk diujicobakan. Ruang lingkup memungkinkan penelitianmu terkelola dengan adanya unsur-unsur pembatas.

Misal, beginilah pertanyaan di atas setelah ditambahkan ruang-ruang lingkup: “Media sosial manakah yang paling sering digunakan oleh Generasi Z di lima kota terbesar di Indonesia untuk saling berkomunikasi tentang politik?” Lingkup seperti rentang usia, lokasi tertentu, dan topik komunikasi kian memberi kejelasan untuk melakukan eksperimen daripada pertanyaan sebelumnya yang lebih generik dan abstrak.

Akan tetapi, setelahnya kamu menghadapi beberapa aral yang mungkin menggangu mulusnya metodologi yang sudah kamu jauh-jauh rencanakan. Barangkali ada masalah dalam mendesain sampel proporsional, menemukan literatur yang relevan untuk mendukung analisis, atau mengelola anggaran dan logistik. Ini adalah batasan penelitian, dan selama kamu mengakuinya dalam tulisan, batasan tersebut tidak selalu dipandang secara negatif. Meskipun begitu, seorang peneliti yang berpengalaman diharapkan untuk meminimalisir munculnya batasan-batasan tersebut.

Ada sebuah makalah cukup anyar yang membedah konsep ruang lingkup dan batasan penelitian dengan baik. Walaupun ruang lingkupnya adalah ilmu sosial, saya yakin secara umum penjabarannya dapat berlaku untuk semua jenis studi penelitian.

Saya ingin berbagi sebuah kesan ketika melakukan penelitian untuk pertama kalinya: Saya ingin sekali meliput masalah seluas mungkin dan akhirnya kewalahan. Muhal melakukan penelitian tanpa menetapkan ruang lingkup dan mengakui batasan yang ada.

Seiring waktu dengan melakukan lebih banyak melakukan eksperimen dan membaca makalah, saya pun sadar bahwa para ilmuwan selalu menyasar sebuah ceruk spesifik untuk setiap studi. Mereka mengandalkan temuan ilmuwan lain dan penemuan mereka nantinya akan berperan demikian di kemudian hari — “berdiri di atas bahu raksasa.” Apa yang mereka temukan tentang sebuah subjek hanya menjadi valid menurut ruang lingkup yang ditentukan dan batasan yang diakui. Jika salah satu sempadan tersebut tidak disertakan atau diganti, hasil tentang subjek tersebut bisa jadi sangat berbeda.

Demikianlah, ketika dihadapkan pada informasi baru, para ilmuwan telah terlatih untuk mencernanya dengan mempertimbangkan banyak sudut. Mereka tidak akan menerimanya mentah-mentah. Otak mereka akan bertanya “Apa konteksnya?”

Mari kita lihat kembali pertanyaan ‘media sosial’ yang saya ajukan sebelumnya. Angap saja, diketahui bahwa WhatsApp menjadi preferensi teratas Generasi Z di lima kota terbesar di Indonesia untuk berkomunikasi tentang politik.

Seorang ilmuwan kawakan atau bahkan seseorang tanpa latar belakang ilmiah namun telah menatar pemikiran kritis akan secara otomatis melontarkan rentetan pertanyaan: “Usia berapa kamu mendefinisikan Generasi Z? Bagaimana kamu menentukan kota terbesar? Apakah berdasarkan produksi ekonomi, jumlah penduduk, atau bahkan luas wilayah? Topik politik mana yang dimaksud, dan bagaimana kamu membedakan mana yang politik dan mana yang bukan?“ Ini akan berlanjut ke detail teknis seperti mekanisme pemilihan sampel dan metodologi kamu.

Jelas terlihat bahwa pertanyaan-pertanyaan ini hakikatnya bersifat membatasi. Mereka bertujuan untuk meruncingkan cakupan hasil dan dengan demikian menetapkan apa saja ruang lingkup dan batasannya. Misalnya, dengan membatasi sasaran hanya untuk lima kota terbesar, kita dapat mengasumsikan bahwa kesimpulan yang sama tidak berlaku untuk kota-kota lain, betapapun besar peluangnya.

Agak sulit untuk mencermati aturan ini, dan oleh karena itu banyak orang yang dengan mudahnya dapat kegocek. Fenomena maraknya penyebaran fake news bisa dilacak dari ini. Di satu sisi, kesalahan tentu terletak pada pembuat berita yang mengubah sebagian atau seluruh berita menjadi menyesatkan orang. Di sisi lain, banyak orang yang tidak memiliki kemampuan atau penilaian yang baik untuk menginterogasi secara internal konteks informasi tersebut, yang valid sekalipun. Dengan kata lain, mereka cenderung gampang menggeneralisasi suatu klaim, dan akhirnya mereka melayani diri sendiri dengan salah tafsir.

Saya yakin informasi palsu, baik yang dibuat dengan sengaja ataupun benar tetapi keliru diartikan, akan tetap bersama kita dalam waktu yang lama. Apa yang bisa kita lakukan adalah berlatih mencerna setiap informasi dengan kacamata skeptis — selalu mempertimbangkan adanya ruang lingkup dan batasan. Di zaman di mana informasi dengan mudah mempengaruhi emosi dan penilaian kita, mempertanyakan secara kritis setiap faktor yang membatasi dengan skeptisisme yang sehat kini menjelma menjadi kebutuhan yang teramat penting.

--

--

Rayan Suryadikara
Rayan Suryadikara

No responses yet