Trendingnya Kasus Kristen Gray dan Mengapa Itu Penting
Dengan adanya utas “Pindah ke Bal-ilegal” yang baru-baru ini melejit, jujur saya agak lega.
Apa latarnya? Dalam utas Twitter yang diunggah hari Jumat (16/1) dan sekarang sudah dihapus, akun Twitter @kristentootie melukiskan Bali layaknya pulau para dewa, sebuah surga untuk ditinggali. Apa yang dimulai sebagai kisah yang menghangatkan hati sayangnya seketika menjadi kecut ketika kisah sukses hidupnya tanpa disadari mengungkap semua jenis pelanggaran yang dapat dilakoni turis asing di era pandemi.
Sekapur sirih, dia mengakui bahwa dia telah tinggal dan bermegah-megahan di Indonesia dengan izin tinggal yang lama jatuh tempo dan meraup penghasilan yang tidak tercatat dalam pajak negara. Lebih lanjut, ia mempromosikan bukunya yang mendorong orang asing lainnya untuk segera cabut dan menetap di Bali, dibumbui tips-tips cara menemukan agen visa yang kita anggap saja gelap dan cara mengunjungi Indonesia selama pandemi COVID-19. Dua dari lima alasan mengapa setiap orang harus melakukan ini, menurutnya: biaya hidup yang rendah pangkal gaya hidup mewah.
Terus kenapa saya lega? Kasus ini agaknya tidak akan terendus andai saja tidak ada dari para “bule nakal” ini yang penuh tekad untuk sharing aktivitas ilegal mereka dengan kepercayaan diri yang lewah. Dan saya yakin mereka jumlahnya lebih dari segelintir.
Bule nakal adalah istilah yang umum digunakan oleh media di Indonesia (dan kini mulai akrab di telinga khalayak umum) untuk menyebut orang asing (kebanyakan turis) yang berperilaku buruk, dari sembronoan di jalan hingga bermukim secara ilegal. Penggunaan kata bule yang saya pakai seterusnya akan mengacu pada definisi tadi.
Sejumlah sumber berita dan pengalaman langsung teman-teman saya menunjukkan bahwa banyak dari bule-bule ini yang sikapnya makin melunjak. Tinggal melampaui batas visa dan kesabaran penduduk, ugal-ugalan dengan sepeda motor, dan sekarang di masa pandemi, mereka dengan enteng dan terang-terangan melanggar protokol keselamatan COVID-19. Padahal sebagian besar masyarakat Bali mematuhi aturan tersebut.
Meskipun kita dapat menarik banyak implikasi sosial seperti ketimpangan sosial, gentrifikasi, dan bahkan bentuk kolonialisme modern, saya ingin memfokuskan bagian ini pada peraturan dan protokol seputar COVID-19 yang dirancang pemerintah Indonesia.
Seharusnya ini menjadi momentum bagi pemerintah untuk memperketat aturan tentang turis overstay yang saat ini memadati Bali. Namun, saya harus bilang bahwa saya berangkat dari titik skeptis tentang ini. Masih segar di benak saya, bapak presiden yang berniat membenahi perekonomian nasional agak gegabah membuka destinasi-destinasi populer di tengah pandemi dan tentu saja Bali adalah salah satunya.
Banyak orang sudah mengecam kebijakan ini dan menyoroti fakta bahwa sangat tidak adil bagi penduduk setempat untuk mengikuti peraturan sementara segerombolan orang, sebagian besar yang kita sebut “influencer”, dapat dengan mudah memasuki pulau untuk kegiatan rekreasi sepanjang pekan. Dan kemudian ada pula bule-bule ini, yang sudah merasa sebagai ‘turis’, terus mengabaikan aturan.
Sekarang berkat utas itu, tidak hanya perihal COVID-19 saja, tetapi jelas terlihat bahwa mereka juga melanggar peraturan mengenai jalan-jalan ke negara lain dan perpajakan. Fakta bahwa seseorang akhirnya mengunggahnya untuk mendorong orang lain melakukan hal yang sama sekaligus menulisnya dalam sebuah buku menandakan di satu sisi kelancangan si wanita, dan di sisi lain kerapuhan hukum kita.
Untungnya, sudah ada banyak portal berita yang melaporkan bahwa para pejabat telah melakukan pencarian terhadap si wanita dan temannya. Nah mudah-mudahan, kasus ini bisa mendorong pemerintah untuk berani menamparkan hukum ke pipi para bule ini, persetan dengan slogan ramah turis.
Maksud saya, dalih pemerintah adalah memulihkan ekonomi. Bagaimana Anda dapat memulihkan ekonomi nasional ketika turis Anda tinggal secara ilegal dan hidup mengisap dengan tidak membayar pajak, yang jika dibiarkan tanpa pengawasan dapat menghancurkan salah satu ekonomi provinsi Anda?
Jadi sangat menarik untuk melihat bagaimana regulasi pariwisata akan berubah setelah kasus ini. Menggaungkan tempat-tempat wisata di Indonesia telah menjadi salah satu prioritas utama pemerintahannya. Sekarang, selain harus bertitian di garis tipis dengan adanya pembatasan COVID-19, pemerintah juga harus mulai mempertimbangkan untuk meningkatkan undang-undang wisatawan yang lebih ketat. Dengan cara ini, pemulihan ekonomi dalam skala nasional dapat dicapai — dan boleh jadi yang lebih penting — kesejahteraan penduduk setempat juga bisa dipastikan meningkat.